Bingung. Mungkin hanya kata itu yang ada difikiran gadis itu saat ia sedang berada didepan laptopnya. Ia bingung harus menulis apa dan dari mana mulai mengerjakan tugas menulisnya. Sebenarnya gadis berusia 18 tahun ini sangat senang menulis. Tapi disaat diminta menulis untuk suatu tuntutan tugas kuliahnya seketika semua inspirasinya hilang. Tak tahu pergi kemana. Padahal jika ia sudah berada didepan laptopnya, biasanya semua inspirasinya mengalir begitu saja. Entah itu menulis puisi, cerpen, atau apapun itu. Hmm…. Apa yang terjadi padanya? Mungkinkah dia benar-benar bingung atau memang ada sesuatu yang membuatnya jadi seperti ini? Apa yang sedang dia fikirkan? Mungkin masalah kuliahnya, tugasnya, prifasinya, atau mungkin karna IP-nya yg kurang memuaskan. Padahal biasanya dia sangat bisa untuk tidak mencampur adukan masalah pribadinya pada segala sesuatu yang berhubungan dengan kuliahnya. Karna menurutnya itu sangat tidak professional. IP-nya bagus. Sangat bagus mungkin untuk seseorang yg mengerjakan UAS dalam keadaan kalut banyak masalah. Tidak mengecewakan dan masuk dalam kategori IP baik jika dibandingkan dengan kelas yang lain. Tapi untuk ukuran teman-teman sekelasnya yang ada dikelas unggulan, IP-nya termasuk kecil dan mungkin itu yg membuatnya merasa kurang puas. Tapi apa hanya karena hal itu sampa-sampai ia tidak bisa konsentrasi dan fokus pada tugasnya?? Tentu saja tidak mungkin. Pasti ada hal lain. Entahlah, mungkin hanya dia yang tahu apakah yang sedang terjadi padanya sehingga menyulitkannya untuk berkonsentrasi. Sebenarnya tugasnya tidak begitu sulit. Hanya membuat sebuah tulisan tentang dirinya dari mulai dia lahir sampai sekarang ini. Mudah bukan? Tapi pada kenyataannya apa yang dia hadapi? Tak satu katapun yang ia tulis.
Rere, begitulah gadis ini biasa disapa. Gadis manja yang memiliki nama lengkap Restiana ini adalah seorang mahasiswi Universitas Pakuan fakultas FKIP jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia semester dua. Sebenarnya guru bukanlah cita-citanya. Tapi entah mengapa ia malah berkuliah di jurusan keguruan tersebut. Jangankan untuk menjadi seorang guru yang mengajar dan memotivasi orang lain untuk belajar, untuk memotivasi dirinya sendiri untuk belajar saja sulit.
Rere, menghabiskan masa kecilnya jauh dari orang tuanya. Dia tinggal bersama kakek dan neneknya karena orang tuanya berada di luar kota. Sang kakek sangat sayang kepada cucunya yang manja ini sampai-sampai tak mengijinkan disaat orang tuanya akan membawanya pindah keluar kota. Karena terlalu sayangnya, ketika gadis yang takut sekali dengan kucing ini bersekolah SD hampir setiap hari diantar jemput. Hmm… sayang sekali sepertinya. Rere langsung duduk dibangku SD. Gadis ini tidak merasakan bersekolah di TK terlebih dahulu. Meskipun awalnya sekolah yang ia daftar tidak mau menerimanya dengan alasan dia tidak bersekolah TK dulu dan umurnya yang masih belum mencukupi, tapi akhirnya mau menerima juga dengan syarat dia tidak akan naik kelas jika tidak mampu mengikuti pelajaran. Tapi pada kenyataannya ia mampu mengikuti pelajaran bahkan nilai rapotnyapun memuaskan. Keotoriteran dan kedisiplinan sang kakek yang membuatnya menjadi seseorang yang keras atau malah cenderung egois. Tapi, semua itu berubah seiring dengan bertambahnya umur. Rere mulai bisa bertoleransi pada orang lain. Malah sekarang menjadi orang yang terlalu mudah terpengaruh oleh orang lain. Ini semua karena sifat ‘enggak enakkan’ yang dia miliki yang sering sekali dimanfaatkan oleh orang lain. Pada kelas dua SD, ia pindah sekolah ke kota dimana orang tuanya tinggal. Disinilah kehidupannya berubah. Ia bertemu dengan sahabat-sahabat terbaiknya yang sampai saat ini masih selalu setia berbagi susah maupun senang dengannya. Pada saat bersekolah SD entah mengapa ia mudah sekali menyerap pelajaran. Pada saat itu pelajaran sejarahlah yang menjadi unggulannya. Semua pelajaran sejarah dia hafal. Tapi mengapa dengan sekarang rasanya sulit sekali untuk belajar? Mungkin karena otaknya telah terkontaminasi oleh masalah-masalah yang seharusnya tidak perlu ia pikirkan mungkin yaa….
Di lingkungan keluarganya, orang tuanya mungkin tidak heran lagi jika melihat putri sematawayangnya itu tidak belajar. Rere, jarang sekali terlihat memegang buku pelajarannya atau bahkan membacanya. Yang dia pegang setiap waktu adalah handphone-nya dan mungkin orang tuanya akan merasa heran jika anaknya tidak memegang benda itu. Mereka tidak bisa memaksakan kehendaknya pada anaknya itu karena suatu paksaan bukan akan berdampak baik malah sebaliknya. Apalagi dalam hal paksaan belajar. Hal ini pernah terjadi pada saat gadis itu duduk dibangku kelas dua SMP. Mereka memaksa anaknya untuk belajar dan belajar. Mereka mendisiplinkan pada Rere untuk belajar setiap jam tujuh malam dan itu harus. Semua itu berlangsung selama satu semester. Lalu, apakah yang terjadi? Nilainya anjlok. Nilainya turun drastis. Wanita itu bukan tipe orang yang bisa dipaksa atau diatur karena paksaan menyebabkan orang merasa terbebani karena mereka melakukan hal tersebut bukan dengan senang hati dan kemauan dirinya sendiri. Oleh Karena itu mereka tidak pernah memaksakan lagi kehendaknya kepada anaknya karena meskipun jarang belajar, mereka yakin pada kemampuan anaknya karena pada dasarnya anak ini mempunyai kecerdasan yang lumayan. Bukan maksud untuk menyombongkan diri tapi memang begitulah keadaannya. Meskipun gadis ini kadang suka ‘enggak nyambung’ dan rada lama ‘nyambungnya’ kalau diajak berbicara.
Masa-masa SMP yang dia lalui tidak begitu berarti baginya. Semua berjalan monoton. Selama 3 tahun tidak ada hal yang menyenangkan atau menarik yang bisa dia ingat sampai sekarang. Mungkin karena sifatnya yang pendiam dan senang menyendiri yang membuatnya tidak begitu menonjol dalam hal bergaul ataupun berprestasi. Tapi ia sempat mewakili sekolahnya untuk mengikuti lomba dongeng se kabupaten Bogor. Walaupun tidak menang tapi cukup berkesan juga karena dia yang sebenarnya orang sunda tapi tidak bisa berbahasa sunda dipaksa untuk berbicara bahkan mendongeng dengan bahasa sunda. Sulit sekali dia lakukan tapi akhirnya dia mampu juga untuk mewakili sekolahnya walaupun tidak menang.
Berbeda sekali dengan masa SMA-nya. Masa SMA gadis berkerudung ini dipenuhi dengan kelabilan remaja yang pada umumnya susah sekali diatur, ingin mencoba segala sesuatu, dan yang paling benar sendiri. Ia pernah ketahuan makan keripik saat pelajaran bahasa inggris bersama sahabat-sahabatnya didalam kelas sampai guru mata pelajaran yang bersangkutan marah besar. Pernah pula ia ditegur karena bermain headset saat pelajaran bahasa Indonesia. Membuat guru sosiologi menangis karena tidak terima tugas yang telah dikerjakannya semalaman suntuk tidak diperiksa dan merasa sangat tidak dihargai. Yang paling parah adalah berdebat dengan guru kimia sampai guru tersebut mengundurkan diri dan tidak mengajar kembali di SMA tersebut. Kelabilan inilah yang membuat orang tuanya harus rela diceramahi lama mendengarkan keluhan wali kelas pada saat pembagian rapot tentang apa yang dilakukan oleh anak tunggalnya itu. Orang tuanya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala mendengar semua itu.
Terkadang jika gadis itu ingat akan kelakuan buruknya semasa sekolah, itu semua membuatnya semakin ragu dengan keputusannya menjadi seorang guru. Ia takut karma itu berlaku. Takut kalau nantinya ia harus berhadapan dengan anak didiknya yang berkelakuan sama dengannya dulu atau malah lebih parah. Sebenarnya dia ingin sekali menjadi seorang psikolog. Ia senang mendengarkan curhatan teman-temannya, memberikan saran, memahami karakter seseorang, dan semua hal-hal yang berhubungan dengan psikologi. Tapi sayang, orang tuanya tidak mengijinkannya untuk berkuliah dijurusan psikologi karena menurut mereka masa depan seorang psikolog tidak cerah. Kuliah ditempat yang telah ditentukan dengan jurusan yang telah ditentukan pula atau tidak kuliah sama sekali. Pilihan yang sangat sulit. Namun keinginanya untuk berkuliah mengalahkan egonya untuk tetap bersikukuh menjadi seorang psikolog yang akhirnya banting stir menjadi guru. Awalnya mungkin berat. Tapi setelah dijalani lama-kelamaan menyenangkan juga dan semua itu ia lakukan dengan senang hati tanpa paksaan lagi. Tapi tetap saja jauh dilubuk hatinya ia masih ingin menjadi seorang psikolog yang mungkin akan ia wujudkan suatu saat nanti. Yang penting yang harus dia lakukan saat ini adalah menjalani masa kuliahnya dengan baik. Ini adalah masa yang seungguhnya untuknya. Perkuliahan inilah gerbannya untuk menghadapi kenyataan masa depannya itu. Tidak boleh ada lagi yang namanya main-main karena inilah penentuan masa depannya yang harus ia hadapi.
Kesungguhannya menjalani bangku perkuliahan sudah terlihat sekarang. Meskipun dia malas, suka menunda-nunda tugas dan tidak meminati apa yang digelutinya sekarang yaitu dibidang pendidikan, tapi dia harus bisa professional. Biaya kuliah tidak murah dan semua itu tidak boleh disia-siakan. Tanggung jawabnya sangat besar baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang tua dan keluarganya. Sudah saatnya meninggalkan masa-masa kelamnya dulu dan kebiasaan buruknya saat sekolah dahulu dan semua itu pasti bisa dia lakukan karena tidak ada yang tidak mungkin didunia ini jika kita mau berusaha. Semua itu sesuai dengan motto hidupnya.
Selain hal itu, masalah kelabilannya tentang yang namanya ‘perasaan’ pun pernah dia rasakan. Entah itu tentang cinta, persahabatan, ataupun konflik keluarga. Masa-masa tersulit yang dia alami di masa SMA saat keluarganya mengalami kehancuran. Kedua orang tuanya yang hamper berpisah membuatnya drop dan menghancurkan sekolahnya. Pelajarannya berantakan, tidak bisa konsentrasi, nilainya hancur. Kerjaannya melamun saja. Teman-temannyapun heran melihatnya seperti itu. Tapi dia tidak pernah mau untuk membagikan semua beban hidupnya pada orang lain karena dia tidk ingin mereka tahu tentang masalahnya. Namun semua itu sudah tidak lagi. Sekarang semua baik-baik saja dan itu yang lebih penting baginya. Masalah cinta? Sama seperti remaja umumnya dia juga pernah mengalami dan merasakannya, tapi kalau masalah lebih rincinya, hmm… hanya dia yang tahu. Terlalu tragis mungkin untuk diceritakan pada orang lain. Mulai dari ditinggal tanpa sebab, diselingkuhi, sampai dibohongi semua pernah dia rasakan. Tapi, biarlah dia dan masa lalunya yang tahu. Yang penting sekarang sudah ada ‘si dia’ yang selalu menemaninya. Seorang laki-laki yang mengembalikan senyumnya disaat gadis cengeng itu terpuruk. Laki-laki yang bisa menjadi kakak saat dia butuh perlindungan, seorang sahabat yang slalu ada disaat dia berbagi, dan pastinya seorang pacar yang ada disaat dia butuh kasih sayang.
Gadis yang suka sekali makan coklat ini memang pintar sekali untuk menyembunyikan perasannya, masalahnya, dan semua yang berhubungan dengan perasaan pribadinya. Dia selalu bisa menyembunyikan semua perasaannya dibalik senyum manisnya. Mungkin jika orang yang baru mengenalnya tidak akan menyadarinya. Mereka selalu beranggapan hidupnya baik-baik saja. Tapi bagi orang yang sudah benar-benar kenal padanya, mereka bisa mengetahuinya walaupun sekeras apapun dia menutupinya. Coklat dan sahabat. Dua hal yang benar-benar tida bisa jauh darinya. Kesukaannya kepada coklat membuatnya tidak bisa sehari saja tidak memakan coklat. Sampai-sampai dia disebut ‘chocoholic’ oleh sahabat-sahabatnya. Setiap hari ia memakannya. Bahkan dalam satu hari mungkin dia bisa menghabiskan tiga batang coklat karena begitu sukanya dia pada coklat. Tapi, sekarang kebiasaanya makan coklat itu berkurang karena larangan sang pacar. Katanya kebanyakan makan coklat bisa merusak giginya. Nurut sih, tapi entah semua itu akan bertahan sampai kapan. Rere bukan tipe orang yang bisa dipaksa. Jadi, kadang larangan itu sering sekali dia langgar selama sang pacar tidak mengetahuinya.
Gadis ini memiliki empat sahabat yang selalu ada disaat senang maupun susah. Seperti pada lazimnya anak-anak remaja jaman sekarang mereka juga punya nama sebutan untuk mereka ‘KAPAS’ atau kami anak pintar akan sukses. Hmm… maksa banget kayaknya. Mereka memberi nama itu karena mereka berlima memang berasal dari kelas IPA pada saat duduk di bangki SMA. Mereka juga punya motto perasahabatan lho. Kalau kata lagu kan persahabatan itu bagaikan kepompong, tapi bagi anak kapas persahabatan itu bagai kamera. Kenapa? Karena selain kamera bisa dipake untuk foto-foto, kamera juga bisa mengabadikan setiap momen mereka seperti persahabatan mereka yang selalu mereka harapkan bisa abadi. Hal konyol yang sempat mereka bicarakan adalah mereka ingin jika mereka menikah nanti, mereka menikah bersama. Hari yang sama, tempat yang sama, tapi tidak dengan suami yang sama. Ada-ada saja. Walaupun sekarang mereka terpisah-pisah, ada yang di Purwokerto, Jakarta, tapi komunikasi mereka tetap terjaga. Karena bagi mereka yang namanya persahabatan harus tetap dijaga dan abadi sesuai motto persahabatan mereka itu. Sahabat selamanya….
Jam menunjukkan pukul 21.25 WIB. Telah hampir dua jam lebih Rere berada didepan laptopnya. Akhirnya tugasnya selesai juga. Tugas yang sangat menyita waktunya. Tapi dia tidak yakin dengan apa yang sudah dia kerjakan. Ia merasa tugasnya belum sempurna. Belum layak dan masih banyak kurangnya. Apa mungkin dia bisa mendapatkan nilai yang memuaskan dengan hasil tugasnya yang seperti ini? Yaa mungkin tidak ada sesuatu yang sempurna. Namanya juga masih belajar pasti banyak yang perlu diperbaiki. Masih harus banyak belajar lagi agar bisa menjadi lebih baik lagi. Malam sudah larut. Sudah waktunya istirahat. Tutup semua tugas mala mini dan bergegas untuk tidur. Karena tidur malam sangat tidak baik untuk kesehatan, Selamat malam re… selamat istirahat. Semoga nilainya bisa memuaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar